Tags

, ,

lukman

Lukman S. Bintoro akan menggelar karya-karya foto jurnalistiknya di Museum Bali Denpasar pada tanggal 18 – 22 April 2009. Pameran yang diselenggarakan atas kerjasama dengan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Denpasar ini akan dibuka pada hari Sabtu 18 April 2009 pukul 6 petang. Lukman sebelumnya menggelar pameran ini  di Kota Malang pada 6 hingga 27 Maret 2009.

Pameran ini merupakan pameran tunggal kedua setelah pameran di Malang dalam 8 tahun perjalanan Lukman menggeluti profesi Jurnalis Foto. Menjadi sangat penting baginya untuk berpameran di Kota Malang karena Ia lahir, dibesarkan dan belajar di kota ini lalu melanjutkannya di Bali.

Berikut adalah catatan kurator Ahmad ‘deNy’ Salman yang mengantar pameran Lukman S. Bintoro “The Journey” :

Klab-klab fotografi, khususnya yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kampus, memiliki fungsi strategis untuk memasok dunia foto jurnalistik dengan alumni-alumninya. Sebagian besar (hampir semua bahkan) pewarta-foto Indonesia adalah talenta-talenta hasil godhokan klab-klab tersebut; suatui relasi positif bagi klab-klab dan industri media/pers di Indonesia.

Namun relasi ini juga menyertakan masalah yang sangat serius, yaitu rendahnya profesionalitas para pewarta-foto kita. Tiadanya lembaga pendidikan tinggi foto-jurnalistik dan sangat terbatasnya kapasitas (kelas & materi pelatihan) lembaga pelatihan bagi calon pewarta-foto menyebabkan hampir semua alumni-alumni klab langsung me-bypass masuk ke dunia profesi pewarta-foto dengan berbekal keahlian, wawasan dan sikap etis yang pas-pasan. Disiplin kerja di dalam industri media dan pasar lah yang kemudian akan membentuk dan meng-upgrade mereka menjadi pewarta-foto professional.

Lukman Siswo Bintoro awalnya adalah pewarta-foto tipikal produk klab foto dan media semacam itu. Minat awal fotografinya terbentuk di Malang saat dia menjadi anggota JUFOC (Jurnalistik Fotografi Club–bahkan sempat menjadi ketuanya untuk periode 1995-1996). Usai merampungkan kuliah dia memutuskan pindah ke Bali tahun 2000 untuk memulai karir profesionalnya di Harian Nusa. Koran yang berbasis di Denpasar inilah yang menempanya menjadi pewarta-foto professional. Malang dan Bali, dengan demikian, menjadi penting bagi pembentukan Lukman.

Pada tahun 2004 pasar fotografi internasional berhasil menggodanya untuk meninggalkan pekerjaan tetapnya di koran tersebut. Ia mengambil langkah berani untuk menggeluti ketidakpastian: menjadi pewarta-foto lepas (freelance). Pilihan yang termasuk kurang populer di Indonesia (meski cukup banyak yang menginginkannya!).

Mulailah karya lelaki kelahiran Malang tahun 1974 ini menghiasi halaman media-media di luar negeri dan internasional, seperti Time (Asia), Financial Times, The Daily Telegraph, Oberoi Magazine International, The Bulletin Magazine. Belakangan dia secara reguler mengerjakan penugasan-penugasan dari News Limited Australia.

Kiprah penerima beasiswa workshop fotografi Angkor Photo Festival (Kamboja) tahun 2006 ini mendapat apresiasi yang sangat baik dari jurnalis Cindy Wockner – penulis dari Australia yang sering menjadi rekan kerjanya melakukan peliputan:

“Lukman is an extraordinary photographer and a consummate professional. As a journalist I have worked with him for the past five years on some of the biggest stories for the Australian and international media and on every single occasion he has excelled and provided photographs which tell the story without the need for words. He possesses many skills and is not just a photographer but a journalist as well . He has a wonderful eye for pictures and is able to see a photograph from many angles and certainly from angles the rest of us simply do not see. He is able to paint a picture and tell a story with his camera – a skill that not everyone possesses but one at which he excels.”[1]

Penghargaan juga diberikan oleh David Penberthy, editor The Daily Telegraph:

“Not only is he a brilliant photographer but he has tremendous news judgment – he is a genuine photo journalist whose pictures always tell the story. He is also driven by a hunger for exclusives. One of my proudest moments as editor came last year when Lukman and our Indonesia correspondent Cindy Wockner broke full details of the execution of the Bali bombers.”[2]

Pindah dan menetap di Bali sebagai base Lukman kemudian banyak mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi berbagai tempat di luar negeri (Kamboja, Timor Leste dan Australia; entah ke mana lagi). Karya-karyanya ditampilkan di pameran[3] tunggalnya ini sebagian besar adalah foto-foto yang dia kerjakan di luar penugasan (assignment). Semacam oleh-oleh dari tempat-tempat yang ia kunjungi atau dari lokasi-lokasi liputannya. Sebagai freelance, memang, Lukman punya kesempatan dan keleluasaan lebih untuk bergerak di luar tugas-tugasnya; memotret hal-hal yang menarik hati atau yang menjadi minat pribadi. Seringkali hal tersebut menjadi satu-satunya latihan untuk meningkatkan keterampilan dan kematangan seseorang pewarta foto lepas. Setidaknya untuk menjaga performanya.

Foto-foto yang dipamerkan ini dipilih dari periode digital (mulai tahun 2004), meski tidak secara lengkap dan utuh, namun cukup bisa mewakili era freelance Lukman dan tujuan kuratorial pameran.

Hampir di setiap bingkai foto karya Lukman kita bisa dengan mudah menemukan jejak akar ke-Indonesia-annya, yaitu kepraktisan eksekusi – khas media cetak Indonsia – yang menghasilkan komposisi rumit/padat sekaligus dinamis di dalam satu bingkai; namun tetap kental dengan sentuhan keindahan ala klab/salon foto.

Perhatikan foto beberapa orang turis asing bersantai menikmati sunset di areal Angkor Wat di Siem Reap, Kamboja. Bukankah mata kita diajak bergerak menjelajahi seluruh elemen di dalamnya?

Perhatikan juga foto seorang anak yang sedang antri menunggu giliran memasuki Pura Pangrebongan untuk bersembahyang saat Hari Raya Kuningan di Denpasar, Bali. Anda pasti tidak merasa asing dengan foto seperti ini! Sangat generik bukan?

Hampir semua foto-foto Lukman yang dipamerkan kali ini adalah kombinasi dari dua karakter foto tersebut. Dia dengan mahir meramunya. Hasilnya, tentunya, adalah foto-foto yang akrab dengan mata. Jidat kita tak perlu berkerut memandang foto-fotonya. Semua mengalir begitu saja. Komunikatif! (Mungkin ini yang membuat dia mendapatkan pujian/apresiasi.)

Bukan berarti Lukman tidak berani mengambil resiko keluar dari mainstream foto-jurnalistik Indonesia. Foto seorang warga yang berusaha memadamkan api yang membakar rumahnya (setelah kelompok-kelompok yang bertikai di Dili saling serang dan membakari rumah-rumah penduduk.) adalah buktinya. Pernahkah Anda melihat foto semacam ini di media cetak kita? Goyang dan blur!?

Perlu juga disorot adalah kerisauan Lukman menyaksikan Bali yang meluruh/memudar: intrusi yang profan ke dalam yang sakral! Lihatlah ironi yang direkamnya: upacara yang menjadi tontonan atau pop-star di antara janur dan kembang sesaji. Sebagai pendatang, mungkin, Lukman memiliki jarak untuk memandang secara kritis Bali yang telah menjadi ‘kampung’ barunya.

Yang estetis dan yang etis ada pada Lukman!

* * *

Bagi yang peduli dengan perkembangan foto jurnalistik di Indonesia, pameran ”Perjalanan Lukman” bisa dilihat sebagai suatu exposition[4] dari masalah-masalah foto-jurnalisme di Indonesia – struktur dominan yang membentuk Lukman dan karakternya sebagai subyek di dalamnya. Bukan sekedar kehendak untuk pamer (umuk) dan menjadi narsis. Pameran (dan diskusinya) ini bak cermin yang menyediakan gambaran perkembangan karya-karya fotografi lengkap dengan pernak-pernik kekurangannya. Sebuah cermin bagi Lukman, juga bagi kita semua.

Depok, 08 April 2009

Ahmad ‘deNy’ Salman