Tags
BALI DAN DESAIN DENGAN MENGGABUNGKAN KREATIVITAS ASLI LOKAL DAN GAYA KEMASAN INTERNASIONAL, SEBUAH AREAL BISNIS BARU TELAH MENGUBAH “MADE IN BALI” MENJADI SATU JAMINAN KUALITAS DUNIA. HARUMI SUPIT MELAPORKANNYA UNTUK ANDA
Seorang desainer muda asal Belanda Melissa SendukHuang beberapa waktu yang lalu memilih untuk tinggal di Bali selama enam bulan untuk program magang di bidang fashion. Ia sangat menyukainya sampai berpikir untuk kembali ke Bali suatu saat dan memulai labelnya sendiri. “Fashion di Bali memiliki gaya dan ciri tersendiri. Sebuah gaya yang santai dan nyaman”.
“Bali kini semakin terkenal di Eropa berkat aksesori, gelang buatan tangan dan tas kulitnya. Di Belanda saja gelang-gelang itu bisa dijual seharga 150 euro”.
Dipicu oleh budaya kreatif dan artistik yang alami, keterbukaan dan pemandangan alam Bali yang membangkitkan inspirasi telah sejak lama menarik perhatian para desainer asing untuk datang ke pulau ini dan belajar serta berkreasi. Banyak di antara mereka yang pada akhirnya memutuskan untuk tinggal, dan kemudian membantu membentuk wajah komunitas kreatif Bali yang baru dan berpandangan ekspor.
Walau pada awalnya kreatifitas bergerak karena didorong untuk memenuhi permintaan wisatawan yang datang, semakin besarnya pengetahuan tentang potensi pasar luar negeri serta semakin majunya komunitas desain telah menjadikan Bali sebagai sebuah kawah kreativitas. Menurut Asosiasi Eksportir dan Produsen Indonesia, sampai saat ini saja ekspor kerajinan tangan dari Bali kini bisa mencapai 3,6 Triliun Rupiah (US$400 juta) setiap tahunnya, dengan Rusia, Amerika Serikat, Jepang serta Australia sebagai pasar utamanya.
Bagi pulau yang dulunya amat tergantung kepada devisa dolar dari pariwisata ini, semakin meningkatnya minat untuk mengekspor barang-barang gaya hidup kelas atas telah membantu mendongkrak perekenomian. Seperti halnya Four Seasons atau Ritz Carlton memimpin harga kamar hotel, desainer kreatif di balik bisnis Jenggala Keramics, restoran pantai Ku De Ta atau Sogo Departement Store juga akan membantu mengangkat harga yang lebih tinggi untuk hasil karya cipta buatan Bali lainnya.
PUSAT KEGIATAN DESAIN
Upaya Bali menghasilkan produk berkelas tinggi tidak hanya terjadi di satu sektor. Apabila anda mendarat di Bandara Denpasar, seseorang akan menawarkan sebuah vila modern bergaya Bali pada Anda. Masuklah ke sebuah spa hotel di Asia, kemungkinan besar Anda akan dikelilingi oleh barang-barang bernuansa Bali. Dalam seni pertamanan, furnitur dan perangkat rumah, desain restoran, olahraga dan mode, pengaruh Bali telah sedemikian luasnya, melampaui luas areanya yang 6.000 kilometer persegi.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh ketertarikan internasional atas sebuah budaya yang dibangun di atas landasan yang kuat dalam mengekspresikan seni dan keagamaan. Bagi para desainer dan seniman, bertandang ke Bali akan sedikit terasa seperti kembali ke rumah. Sebagai seorang arsitek dan desainer lansekap lulusan Harvard yang baru-baru ini masuk dalam urutan Design 100 di Majalah Time, Bill Bensley telah memiliki ikatan yang kuat dengan Bali selama 25 tahun ini. Menurutnya ada dua sisi yang membuat Bali memiliki magnet yang menjadi daya tarik para desainer.
“Bali adalah studio indah penuh orang-orang berbakat yang masih menggunakan tangan mereka – yang dipadukan dengan tersedianya berbagai bahan unik yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia”.
Andrianna, seorang desainer perak berusia 24 tahun yang lahir, besar dan mengenyam pendidikan di Bali, memiliki merek atas namanya sendiri, dan menjual produk-produknya di Bali, Italia dan Australia. Ia melihat hubungan budaya dengan alam sebagai kunci daya tarik pulau Bali. “Saya rasa desain Bali amat unik, ada perasaan khusus dalam proses pembuatannya. Saya mengatakan hal ini karena budaya amat terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya”.
“Banyak sekali sumber inspirasi di sini. Selain dari warga Bali itu sendiri, Anda juga mendapatkan masukan dari masyarakat internasional yang satu sama lain saling bertukar informasi. Namun demikian, budaya Bali masih tetap kuat terjaga”.
TEMPAT YANG PAS
Gaya Bali dapat dilihat dari hadirnya campuran warna-warnanya yang hidup serta penuh semangat, berbahan alami dan berkontur minimalis. Salah satu bangunan yang memberi arti baru pada gaya ini adalah restoran tepi pantai Ku De Ta. Sebagai restoran pelopor gaya estetika Bali modern, tempat yang penuh gaya dan buka dari siang sampai malam ini menggunakan kontur ramping dan tata letak terbuka, di mana para tamu dapat bersantai di sofa matras dan menikmati pemandangan lautan di Pantai Seminyak, diiringi musik bernuansa house-beach. Sebuah perpaduan yang sempurna.
“Mereka melakukan semuanya dengan benar sejak awal. Dan tempat itu masih menjadi favorit”, ujar Bensley. “Ku De Ta amat besar pengaruhnya dalam menciptakan suasana hotel seperti itu di seluruh dunia. Sofa kasurnya itu yang membuatnya terkenal. Semua orang suka akan ide makan di atas tempat tidur – dan di tepi pantai.”
Berkembangnya gaya Bali sebagai sebuah ikon yang dikenal di luar negeri merupakan perkawinan antara budaya Bali, pemasaran dan produksi oleh pengusaha cerdik yang memanfaatkan semakin meningkatnya minat akan produk-produk gaya hidup dari kebudayaan Timur. Sebuah contoh sukses dari perpaduan budaya ini – dan merupakan pilar dari gaya khas Bali – adalah pembuat peralatan makan dan minum Jenggala Keramik.
Didirikan pada tahun 1976 oleh seorang pemilik hotel lokal Wija Wawo-Runtu dan pengrajin tembikar Brent Hesselyn dari Selandia Baru, sampai saat ini Jenggala rutin memasok ke berbagai hotel domestik dan internasional. Produk-produknya yang terkenal karena desainnya yang khusus dan bergaris tegas (clean lines) sudah mengisi rumah-rumah di New York dan Tokyo.
Perusahaan ini amat sadar bahwa peran dari desain lokal penting bagi keberhasilan mereka. Pemiliknya Ade WawoRuntu mengatakan bahwa keberhasilan Jenggala bisa dipertahankan berkat kerja sama dengan para desainer dan seniman dari dalam maupun luar negeri.
“Orang Bali orangnya sangat terbuka, dan pulau ini menarik banyak orang yang unik. Kami tidak ingin pindah ke tempat lain, karena sisi kreatif Bali penting bagi desaindesain kami”.
Satu hal yang juga menggambarkan gaya Bali adalah semakin banyaknya kehadiran hotel-hotel papan atas. Terlepas dari berbagai gejolak selama beberapa tahun terakhir ini, Bali masih menjadi penarik bagi para pengembang papan atas yang ingin membawa rancangan modern ke sebuah lingkungan menakjubkan seperti jajaran karang yang ada di Teluk Jimbaran atau di atas tempat berselancar air di Uluwatu. Beberapa hotel terbaru di daerah ini adalah grup Design Hotels, Alila hotel dan Anantara Resor Seminyak, sementara Mandarin Oriental dan Raffles Internasional tak lama lagi akan membuka propertinya.
Setiap resor akan berlomba menarik pelanggan ideal seperti satu pasangan Rusia yang baru-baru ini pernah menginap dua Minggu penuh di Ritz Carlton Villas yang bertarif $4.000 (36 juta) semalam. Pada akhirnya, para pelanggan ini akan menciptakan permintaan lain akan gaya hidup Bali setelah kembali ke negara asalnya.
MENGAKAR PADA BUDAYA?
Properti bintang lima Ubud Kamandalu Resor (dulu Banyan Tree) berhasil menggabungkan desain pedesaan Bali kedalam resor vila mereka. “Kami menggunakan bahan-bahan lokal dari Panglipuran”, kata general manager Darmawan Drajit. “Harapan kami adalah tamu-tamu yang datang dapat merasakan pengalaman tinggal di sebuah desa di Bali yang dilengkapi dengan fasilitas hotel bintang lima. Akar yang menancap di masyarakat merupakan salah satu kelebihan kami”.
Sampai kapan semangat proses kreatif ini akan bertahan? Tetap mengakar pada budaya masyarakat sekitar merupakan kunci bagi Bali untuk dapat terus masuk ke sektor industri bernilai tambah lainnya. Banyak pemilik bisnis yakin bahwa tidak Bali tidak akan kehilangan kreativitasnya. Di Suarti, sebuah perusahaan pengrajin perak yang memiliki ruang pamer di New York, kepala pemasaran I Wayan Sutrisna mengamini hal ini. “Desainer lokal kami memiliki banyak ilham jika dibandingkan desainer Barat. Mereka lebih kreatif – mereka mendapatkan inspirasi dari alam sekitar”.
Namun ada juga yang meragukan hal ini. Bill Bensley yang tinggal di Bangkok, dan meraih keuntungan besar dari globalisasi, memperingatkan dampak globalisasi bagi masyarakat Bali. “Globalisasi sudah sampai di Bali, dan globalisasi tidak pernah baik”.
“Dulu saya selalu diminta melakukan segala sesuatu seperti orang Bali. Tapi yang sekarang populer malahan yang berbau Maroko”, renungnya.
Jika modernisasi sudah terlalu ekstrem, peleburan yang membentuk gaya Bali pada akhirnya dapat mengikis keaslian gaya itu dan juga budaya asli. Atau hal itu malahan dapat mendorong pendidikan serta pelatihan lokal yang dapat mencetak para desainer dan arsitek gaya Bali angkatan berikutnya yang muncul dari dalam orang Bali sendiri.
Pemilik Jenggala Ade Wawo-Runtu menyukai gagasan mendorong sistem pelatihan lokal ini. “Sekolah desain? Seluruh pulau ini adalah sekolah desain, tapi tidak formal – di seluruh pelosok pulau ini Anda bisa melihat pertukaran pengetahuan. Dan hal ini menarik untuk dikembangkan”.
Untuk sementara ini, sambil duduk di tepi kolam Alila Ubud yang tak bertepi saat matahari terbenam, senyuman pada wajah setiap orang memastikan bahwa pesta penuh gaya ini adalah yang terbaik untuk saat sekarang.
Laporan tambahan: Luke Clark
Sumber : http://mandala-magazine.com