Oleh : Bambang Ismawan (Pendiri Yayasan Bina Swadaya)

Entrepreneur menurut kamus Oxford : ”A person who undertakes an entreprise or business, with the chance of profit or loss”. Seorang yang bertanggung jawab atas sebuah bisnis dengan memikul risiko untung atau rugi. Entrepreneur dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu business entrepreneur dan social entrepreneur. Perbedaan pokok keduanya utamanya terletak pada pemanfaatan keuntungan. Bagi business entrepreneur keuntungan yang diperloleh akan dimanfaatkan untuk ekspansi usaha, sedangkan bagi sosial entrepreneur keuntungan yang didapat (sebagian atau seluruhnya) diinvestasikan kembali untuk pemberdayaan ”masyarakat berisiko”. Namun dalam trend global dikotomi semacam itu kian kabur, sebab mereka (business entrepreneur dan social entrepreneur) sesungguhnya berbicara dalam bahasa yang sama. ”Kami bicara dalam bahasa yang sama yaitu : inovasi, manajemen, efektifitas, mutu dan kompetensi” (Fred Hehuwat, 2007).

Memasuki era Revolusi Industri, para business entrepreneur (sektor bisnis) telah menjadi motor penggerak dalam perubahan-perubahan dunia, tidak hanya dalam lingkup ekonomi dan industri namun juga banyak sektor kehidupan masyarakat.

Sementara, dalam tiga dekade terakhir para social entrepreneur banyak berkontribusi pada pembangunan sektor sosial di masyarakat. Seperti : Muhammad Yunus (Grameen Bank), Peter Eiger (Transparency International, Jerman), Alice Tepper-Marlin (Social Accouantability, AS), dan Bill Drayton (Ashoka Foundations, AS). Tampak pula, para business entrepreneur pun banyak yang kian intens melakukan program-program pemberdayaan masyarakat. Mereka tidak sekedar melakukan tanggung jawab sosial(corporate social responsibility) dalam tataran yang sempit, namun banyak yang termotivasi untuk pemberdayaan masyarakat dalam lingkup yang luas. Mereka berkiprah dalam beragam program pemberdayaan masyarakat, baik bidang ekonomi, pendidikan dankebudayaan, kesehatan, sarana dan prasarana maupun lingkungan hidup.

Dengan spirit yang dimilikinya, entrepreneur dapat mengubah masyarakat bahkan dunia. Contoh berikut membuktikan hal itu.

Pertama, Thomas Alva Edison (1847 – 1931) pada usia 22 tahun menemukan Telegraf, dan beberapa tahun kemudian menemukan Lampu Pijar pertama yang dapat menyala 40 jam. Ia terus berkarya hingga usia 84 tahun dan menghasilkan sekitar 1.300 paten atas namanya, serta telah memasarkan sebagian besar produknya. Perusahaan yang didirikan untuk memasarkan produknya kita kenal dengan nama General Electric (GE). GE adalah perusahaan no. 5 di Amerika Serikat dan no. 9 di dunia yang mempekerjakan sekitar 325.000 karyawan.

Kedua, Muhammad Yunus pendiri Grameen Bank dan peraih nobel perdamaian 2006 dari Bangladesh. Ekonom ini lulusan Vanderbilt University, AS ini sangat terusik dengan kemiskinan yang massive di negerinya, sementara teori-teori ekonomi yang dipelajarinya tidak bisa memecahkan persoalan kemiskinan. Akhirnya ia terjun langsung dengan memberikan pinjaman sekitar US$ 27 bagi 42 orang petani dan pengrajin. Upaya ini kemudian bertumbuh menjadi model lembaga keuangan pedesaan yang terkemuka di dunia. Model pelayanan keuangan yang dikembangkannya telah direplikasikan di 58 negara. Lembaga keuangan tersebut dikenalsebagai Grameen Bank (bank desa) yang kini melayani sekitar 7 juta orang (7.309.335 per 30 September 2007) dan sebagian besar(97 %) adalah perempuan. Jumlah outstanding credit US$ 500,67 juta dan tingkat pengembalian 98,40 %. Karya Yunus membuktikan, bahwa orang-orang miskin, atau pengusaha mikro (economically active poor) adalah bankable.

Bina Swadaya Entrepreneruship.
Bina Swadaya merupakan lembaga pemberdayaan masyarakat yang lahir pada 24 Mei 1967 oleh sejumlah aktivis Ikatan Petani Pancasila (IPP) yang merasa terpanggil untuk memberdayakan masyarakat miskin dan terpinggirkan. Bina Swadaya pun berupaya menjadi wahana pemberdayaan masyarakat yang mandiri dan konsisten, serta hadir secara kontekstual. Mandiri berarti adanya tekad untuk membangun dan menjaga kemandirian keuangan, dengan tidak bergantung pada bantuan lembaga dana. Konsisten dibuktikan dengan tetap berpegang teguh pada visi – misi pemberdayaan masyarakat miskin dan terpinggirkan. Kontekstual berarti hadir untuk menjawab kebutuhan dan mengantisipasi tantangan dan peluang yang ada.

Kiprah Bina Swadaya secara ringkas digambarkan dalam tiga era atau periodisasi berikut.

Pertama, Era Gerakan Sosial Pancasila (1954 – 1973). Karakterisitik perjuangan pada era Orde Lama ini adalah mengarusutamakan (mainstreaming) pembangunan untuk pemberdayaan masyarakat miskin.

Kedua, Era Lembaga Pengembangan Sosial Ekonomi (1974 – 1998). Bina Swadaya memposisikan diri sebagai Lembaga Pengembangan Sosial Ekonomi dengan pendekatan mengembangkan laboratorium sosial dan bekerjasana dengan berbagai lembaga pemberdayaan masyarakat, baik pemerintah maupun swasta, dalam dan luar negeri.

Ketiga, Era Kewirausahaan Sosial (KS), 1999 – sekarang. Ditandai dengan maraknya tuntutan reformasi, demokratisasi dan otonomi daerah. Pada era ini Bina Swadaya memantapkan diri sebagai organisasi kewirausahaan sosial yang mengembangkan keberdayaan masyarakat dengan menserasikan kemandirian secara finansial.

Kini Bina Swadaya Bina Swadaya bergerak dalam 7 bidang kegiatan yaitu : (1) Pemberdayaan masyarakat warga (Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Pusat Kajian, Bina Swadaya Konsultan, dan Gugus Wilayah); (2) Pengembangan keuangan mikro (Bank Perkreditan Rakyat dan kantor cabang Pelayanan Keuangan Mikro); (3) Komunikasi pembangunan (Majalah Trubus, buku-buku pertanian non pangan, bahasa, kesehatan, ketrampilan, pendidikan, gaya hidup, perumahan, dan buku-buku cerita. Termasuk dalam kelompok iniadalah jasa pemasaran buku dan majalah; (4) Jasa percetakan; (5) Pengembangan agribisnis melalui Toko Pertanian; (6) Pariwisata alternatif; (7) Jasa akomodasi untuk pertemuan, pelatihan, workshop dan seminar.

Entrepreneurship sebagai solusi.
Seperti telah dijelaskan, Bina Swadaya hadir untuk upaya mengatasi masalah ketidakberdayaan masyarakat. Ketidakberdayaan dapat dirumsukan sebagai kondisi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan masyarakat. Ketidakberdayaan masyarakat merupakan masalah yang multi-dimensi dan sulit terhapus dari muka bumi. Penyebab ketidakberdayaan dalam masyarakat Indonesia dapat ditelusuri dari beberapa faktor yaitu : (1) Warisan penjajahan; (2) Ketidakstabilan pemerintahan; (3) Jebakan ketergantungan; (4) Devaluasi mata uang yang sangat besar; (5) Korupsi, kolusi, dan nepotisme; (6) Bencana alam dan bencana sosial (kerusuhandan konflik horisontal) serta; (7) Kerusakan lingkungan.

Sementara Muhammad Yunus melihat salah satu sumber masalah kemiskinan di Bangladesh adalah ketidakadilan sosial. Ia pun sampai pada kesimpulan, “Mengatasi ketidakadilan sosial yang semakin marak, kewirausahaan sosial adalah jawabannya”.

Berlandaskan pada spirit entrepreneurship, Bina Swadaya mengembangkan tiga pendekatan : (1) Pengembangan kelembagaan masyarakat mandiri yaitu Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), (2) Pelayanan keuangan mikro melalui kelembagaan bank dan non bank, (3) Pengembangan berbagai produk untuk peningkatan usaha dan pendapatan masyarakat, melalui media massa. (4) Menggagas Gerakan Pemberdayaan Masyarakat yang berkelanjutan dengan membangun dan mengembangkan kerjasama antara Receiving Mechanism,Delivery Mechanism, dan Service Provider, serta memperjuangkan Kebijakan Pemerintah yang kondusif.

Dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi informasi, masyarakat dapat dengan mudah menggali banyak informasi yang diperlukan untuk mengembangkan sektor-sektor usaha yang prospektif. Dengan kejelian dan kreativitas serta diladandasi dengan tekad yang kuat, maka upaya untuk menjadi entrepreneur akan dengan mudah tercapai. Semoga. Sumber: http://www.binaswadaya.org/