Tags

,

versus_hit_6_poster_low

Majalah Versus kembali menggelar diskusi “Hot Ice Tea” (HIT) yang ke-6.

Diskusi HIT adalah acara dwi-bulanan yang membahas tema utama dari setiap edisi Majalah Versus. Hasilnya dimuat dalam artikel bertajuk VICE VERSA. HIT hingga kini telah berlangsung sebanyak lima kali dan kali yang ke-6 ini akan digelar bekerjasama dengan FSRD Tarumanagara dengan tema “Desain Grafis Berbangsa versus Non-Berbangsa” yang akan diadakan pada:

Hari, tanggal: Rabu, 20 Mei 2009
Jam: 14.00-17.00 WIB
Tempat: Ruang Mezanin (top floor) Gedung R kampus 1 Universitas Tarumanagara, Jl. Letjen S. Parman no. 1, Jakarta Barat

Bersama:
1. Arief “Ayip” Budiman (Matamera Communications/Bali Creative Community)
2. Iwan Esjepe (Indonesia Bertindak)
3. Bernhard Subiakto (Octovate Group)
4. Arief Adityawan (Dosen DKV Untar, Jurnal Grafisosial)
5. Yasraf Amir Piliang (Dosen ITB, Ketua Kelompok Keahlian Ilmu Desain & Budaya ITB)

Moderator: Priyanto Sunarto (Dosen DKV, Ilustrator)

Acara ini free, untuk pendaftaran silahkan hubungi Intan di 0818 07 136 137/021 569 72 782 atau email di intan.febrianni@versusmagz.com

DISKUSI HOT ICE TEA #6 MAJALAH DESAIN VERSUS
APA YANG KAMI MAKSUD DENGAN DESAIN GRAFIS DAN KEBANGSAAN?

Benedict Anderson berpendapat bahwa bangsa merupakan ‘konsep’ imajiner
yang tumbuh secara kolektif di dalam kesadaran masyarakat setelah di tanam
secara sistematis teramunya beberapa elemen katalis. Media massa merupakan
salah satu elemen tersebut, demikian juga media-media rupa dan inderawi
lain yang menyebarkan tanda bahwa ‘bangsa’ itu ada, jalan, berkegiatan,
berfungsi, dan sebagainya. Indonesia terbentang “dari Sabang sampai
Merauke” demikian diujarkan oleh Bung Karno, yang tanpa perantara media
massa dan budaya rupa massa tidak akan tertanam dalam benak masyarakat.
Indonesia yang secara fisik terdiri atas kepulauan, terpisah satu pulau
dengan lainnya oleh perairan luas, bukan tidak mungkin seandainya media
massa tidak menyebarkan kabar ‘Indonesia Merdeka’, masyarakat luas tidak
akan tahu bahwa wilayahnya masuk ke dalam negara Indonesia, atau bahwa dia
adalah anggota bangsa Indonesia. Atau ingat bagaimana buku pelajaran
geografi mengajarkan bahwa demikian peta Indonesia, lebih dari 13.000
pulau dan terdiri atas lebih dari 300 suku; televisi republik di tiap
awalan siarannya melantukan lagu kebangsaan dengan sekuen masyarakat
‘Sabang sampai Merauke’ di bawah bendera Merah Putih. Bayangan warga
negara tentang konsep kebangsaan tidak akan tertanam dan mengakar tanpa
peran komunikasi visual.

Desain grafis adalah profesi dan keilmuan yang telah berkembang lebih dari
setengah dekade, bahkan profesi perancang dan ilustrator rekame jauh yang
merupakan kegiatan desain grafis juga telah berkembang jauh sebelum bangsa
Indonesia merdeka. Di dalam diskusi Hot Ice Tea “Desain Grafis dan
Kebangsaan,” majalah Versus mempertanyakan posisi profesi desain grafis
dalam pembenahan dan pemberdayaan konsep kebangsaan. Bila dipandang dari
sejarah maka kegiatan (bukan profesi) desain grafis berperan menebarkan
benih kebangsaan lewat diseminasi propaganda rupa saat revolusi perjuangan
kemerdekaan, pembangunan nasional masa awal republik, propaganda
kebangsaan saat Orde Baru, dan banyak lagi. Desain Grafis Kebangsaan tidak
hanya meliputi aspek yang cenderung politis, ia juga bisa komersil.
Contohnya bagaimana iklan rokok masa kini seperti Sampoerna menayangkan
citraan metaforik beragam suku di Indonesia bersatu padu membangun bangsa.
Padahal Sampoerna jualan rokok yang juga pengakibat penyakit dan
ketergantungan konsumtif masyarakat bawah. Dengan citra kebangsaan,
Sampoerna menunjang misi sosialnya, sekaligus meningkatkan penjualan. Atau
bagaimana dengan kampanye menjelang PEMILU yang menghamburkan milyaran
Rupiah hanya untuk menjual citra calon legislatif dan bukan solusi
permasalahan bangsa ini?

Sebagian besar karya profesi desain grafis Indonesia tidak mengacu dan
memandang tidak perlu mengacu pada konsep kebangsaan. Yang penting
rancangan menjawab persoalan dan terinjeksi karakteristik perancangnya,
tidak perlu lebih dari itu. Bila karakter ‘Indonesia’ tidak menjawab
persoalan buat apa menjadi bumbu sebuah pesanan desain? Lalu kalau
menunggu diminta, kapan lagi desain grafis bisa berkebangsaan? Menjadi
aktivis? Menjadi intelek? Merancang untuk bangsa, bukankah itu keputusan
yang sifatnya moralis, pribadi? Tidak ada sangkut pautnya dengan dunia
profesi? Apakah mungkin kebangsaan menyelaras dengan industri? Apa perlu
desain grafis untuk kebangsaan? Sebenarnya posisi profesi dan keilmuan
desain grafis ada di mana bila dikaitkan dengan konsep kebangsaan? Apa
yang perlu diperhatikan bila merancang untuk kebangsaan? Siapa pemesan?
Akibat dari pesan (semiotik, politik, budaya, dsb). Rangkaian pertanyaan
di atas menyinggung perdebatan klasik juga seperti apa artinya globalitas
versus lokalitas, polaritas Barat versus Timur, Kita versus Mereka—yang
dalam sejarah telah dimulai semenjak Polemik Kebudayaan 1930an dan
berlanjut hingga perdebatan antara LEKRA dan MANIKEBU di tahun 1960an
(yang sampai sekarang sebenarnya belum selesai perdebatannya). Bila konsep
kebangsaan itu imajiner, bukankah itu berarti masing-masing pribadi
memiliki persepsi yang berbeda-beda di kepala—atau ada kesamaan akibat
konstruksi budaya?

Ismiaji Cahyono